STRATEGI MENGHADAPI PAHAM RADIKALISME TERORISME DI KALANGAN GENERASI MUDA
Jakarta, Baraberita.com – Rabu, 08/12/2021 – Terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Lahan atau tempat pertumbuhan terorisme paling cepat adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan. Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.
Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme.
Lalu apa itu terorisme? Banyak ragam pengertian dalam mendefinisikan terorisme. Dari beragam definisi baik oleh para pakar dan ilmuwan maupun yang dijadikan dasar oleh suatu negara, setidaknya memuat tiga hal: pertama, metode, yakni menggunakan kekerasan; kedua, target, yakni korban warga sipil secara acak, dan ketiga tujuan, yakni untuk menebar rasa takut dan untuk kepentingan perubahan sosial politik.[1] Karena itulah, definisi yang dijadikan dasar oleh negara Indonesia dalam melihat terorisme pun tidak dilepaskan dari tiga komponen tersebut
Masa transisi krisis identitas kalangan pemuda berkemungkinan untuk mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz, sebagai cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari problem psikologis generasi muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan melancarkan agenda kekerasannya.
Sangat memperihatinkan ketika melihat berbagai fakta yang mempertontonkan kedekatan pemuda dengan budaya kekerasan. Kehadiran Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menjadi momok baru yang menakutkan bagi kalangan generasi muda dengan berbagai provokasi, propaganda dan ajakan kekerasan yang menggiurkan. Sejak kemunculannya menghentakkan situasi keamanan bangsa ini, ISIS setidaknya telah mampu menggetarkan gairah anak muda untuk ikut terlibat dalam gerakan politik kekerasan di Suriah. Beberapa contoh yang bisa disebutkan adalah meninggal di Irak saat bergabung dengan ISIS. Wildan merupakan santri di Pondok Al Islam di Tenggulun, Lamongan, yang dikelola oleh keluarga Amrozi terpidana bom Bali 2002. Dalam usianya yang masih belia pemuda asal Lamongan ini memilih mengkahiri hidupnya di tanah penuh konflik. Tidak hanya dari kalangan laki-laki, Asyahnaz Yasmin (25 tahun), termasuk satu dari 16 warga negara Indonesia yang ditangkap pemerintah Turki. Gadis asal Bandung ini setelah dipulangkan ke Indonesia, ia ditolak keluarganya dan bupati setempat. Kemensos RI pun menampungnya kembali di rumah perlindungan dan trauma centre. Dan tentu saja masih banyak cerita lainnya.
Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bagaimana kerentanan kalangan generasi muda dari keterpengaruhan ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan oleh kelompok radika baik secara langsung maupun melalui media online yang menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Karena itulah, upaya membentengi generasi muda dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan kekerasan menjadi tugas bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama Pendidikan, melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda. Kedua, Keluarga, melalui peran orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga, komunitas: melalui peran tokoh masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.
Selain peran yang dilakukan secara institusional melalui kelembagaan pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat, generasi muda juga dituntut mempunyai imuntas dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan radikal terorisme. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan generasi muda, dalam rangka menangkal pengaruh paham dan ajaran radikal yakni 1) tanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI, 2) perkaya wawasan keagamaan yang moderat, terbuka dan toleran, 3) bentengi keyakinan diri dengan selalu waspada terhadap provokasi, hasutan dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan masyarakat maupun dunia maya, 4) membangun jejaring dengan komunitas damai baik offline maupun online untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan 5) bergabunglah di damai.id sebagai media komunitas dalam rangka membanjiri dunia maya dengan pesan-pesan perdamaian dan cinta NKRI.
Penutup
Terorisme merupakan tindakan kejahatan yang mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa didekati dengan pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata. Keterlibatan komunitas masyarakat terutama lingkungan lembaga pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat serta generasi muda itu sendiri dalam mencegah terorisme menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalam memerangi terorisme demi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara tercinta yang damai, adil dan sejahtera.
“Bersama Cegah Terorisme”
[1] Harvey W. Kushner, Encyclopedia of Terrorism, London : Sage Publication, 2003. Hlm. Xxiii. 3 Lihat UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme