PRESS RELEASE MENCIPTAKAN OTONOMI DAERAH BERMARTABAT “ ILLOGISME SISTEM PEMDA KITA “

Gorontalo Kota, Baraberita.com – Rabu, 21/09/2022 – Sistem pemerintahan yang dibangun saat ini kebanyakan outputnya adalah disetiap berakhirnya rezim selalu meninggalkan skandal. Dari rezim Orde lama hingga rezim SBY. Dan tak menutup kemungkinan pada rezim saat ini yang sudah banyak tanda-tanda dan bukti empiris yang mengarah ke sana, begitulah kalimat pembuka Dr. Yakob Noho Nani, Dosen pada Universitas Negeri Gorontalo yang menjadi Narsum pertama pada webinar rutin Akademia Noto Negoro (ANN) ke 27 pada 21 September 2022 dengan tema “Illogisme Sistem Pemda Kita”. Webinar ANN kali ini merupakan webinar lanjutan dari Webinar ke 26 yang terkait carut marutnya sistem pemerintahan daerah kita saat ini dan kali ini dipandu oleh Moderator Suprapti Widiasih, S.E., M.A dari Institut STIAMI Jakarta.
Permasalahan otonomi yang ada seperti dominasi struktural, oligarki kekuasaan, patronase kepentingan, overlaping kewenangan pusat, tumpang tindih regulasi, menyebabkan prosedur panjang, cenderung melayani konstituen. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar yang disampaikan oleh Yakob yaitu apakah negara kesatuan lebih cocok dengan sistem Euro Kontinental, Anglo Saxon atau sistem campuran.
Dalam pemaparannya Yakob Nani mengusulkan dua alternatif pengembangan sistem pemda yaitu pertama Provinsi sebagai otonomi besar, Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom, Kecamatan dan Desa sebagai otonomi struktural. Alternatif kedua adalah Provinsi sebagai wilayah administratif, mendorong Kabupaten/Kota sebagai otonomi luas dan Kecamatan/Desa sebagai perpanjangan Kabupaten/Kota. Teori kontemporer dicoba untuk dikorelasikan dengan model yang akan dibangun. Dan diharapkan sistem yang dibangun nantinya tidak mengadopsi kemana-mana tapi cukup mengadopsi nilai-nilai yang kita punya agar kita bisa berdiri diatas kaki sendiri.
Dalam papara selanjutnya oleh Narsum kedua Prof. Irfan Ridwan Maksum yang merupakan guru besar Ilmu Administrasi Publik UI menyampaikan bahwa sistem pemerintah daerah terbagi dua yaitu Functional yang berarti tidak ada wakil pemerintah pusat di daerah dan Perfektur yang berarti ada wakil pemerintah pusat di daerah dan ini menjadi dasar dekonsentrasi. Dan ini yang berlaku di sistem pemda kita. Prof Irfan menyinggung kembali paparan oleh Prof Hanif dalam webinar sebelumnya yang mengatakan bahwamenurut Hanif Nurcholis diusulkan pembenahan struktur daerah otonom sembari juga tetap dipertahankan madzhab ero-kontinental yang tetap mengacu adanya sistem Wakil Pemerintah (prefek/ BB).
Sejak Hindia Belanda, sistem ini dianut bahkan hingga saat ini. Terdapat perubahan – perubahan yang dikemukakan oleh Hanif Nurcholis. Ada yang dinilai tidak masuk akal terlebih menyangkut struktur daerah otonom, karena keberadaansistem wakil pemerintah juga berdampingan dengan adanya struktur daerah otonom. Inilah yang dimaksud illogisme atau suatu sistem yang tidak sesuai dengan teori dan sain. Sebagai contoh jabatan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah juga sebagai penerima tanggung jawab urusan Pemerintahan Umum (PUM).
Namun pada kenyataannya Gubernur juga menerima tugas dari Kementrian/Lembaga (KL) yang bukan terkait PUM dengan posisi setara dengan kepala instansi vertikal yang biasanya dijabat oleh orang yang sama dengan gubernur. Illogisme selanjutnya adalah dalam UU No. 23 /2014 pasal 1 ayat 9 dimana disebutkan Bupati/walikota kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat. Padahal secara teoritis
Bupati/walikota adalah bukan wakil pemerintah pusat namun pemegang otonomi daerah. Dalam uraian selanjutnya Prof Irfan mengugsulkan agar otonomi daerah yang lemah harus ditransformasikan menjadi otonomi daerah bermartabat. Namun hal ini menjadi tantangan karena adanya Pilkada langsung dimana Gubernur swebagai kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, dengan demikian maka tidak ada lagi wakil pemerintah pusat di level provinsi.
Pendapat Prof Irfan menguatkan argumentasi dari Prof. Hanif Nurcholis yang bertindak sebagai Narsum ketiga sekaligus pemantik diskusi. Diingatkan oleh kembali awal mula munculnya istilah Pemda (Local Bestuur) yaitu berdasarkan amandemen pasal 68 UUD Hindia Belanda 1854 menjadi pasal 68a, 68b, 68c., decentralisatie besluit 1904 dan local ressort ordonnantie 1905. Locale Bestuur bukan wilayah jabatan Binnenlandsche Bestuur Ambtenaar dan bukan miniatur pemerintah pusat. Gemeenschap (komunitas) yang diakui (erkened) sebagai kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) dan diberi hak mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) ini berada dalam locale ressort. Kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) ini diselenggarakan oleh kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) sendiri yang diwakili oleh dewan lokal (locale raad).
Dewan Lokal menunjuk Dewan Eksekutif (college) dari 5 anggotanya sebagai pelaksana kebijaan dewan lokal. Dewan eksekutif (college) memegang portofolio (mengepalai dinas-dinas sektoral). Dewan lokal bukan DPR di daerah. Resot Lokal yang diselenggarakan sendiri oleh kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) ini disebut Zelfstandige (daerah otonom atau badan hukum yang tegak berdiri sendiri artinya tidak di bawah perintah langsung pejabat binnenlands bestuur).Illogisme yang terjadi adalah bahwa di Resot Lokal yang merupakan kesatuan masyarakat hukum diselenggarakan oleh kesatuan masyarakat yang diwakili oleh Dewan Lokal dan itu dianggap sebagai DPRD. Padahal tidak ada urusan apapun yang dilimpahkan oleh DPR Pusat ke DPRD. Seharusnya
Dewan lokal itu dibawah pengawasan pusat. Namun yang illogisme saat ini bahwa Dewan Lokal dibawah hirarki pemerintah pusat. Padahal sebagai sesama Badan Hukum Publik, Negara dalam hal ini pemerintah pusat tidak membawahi Badan Hukum Daerah (otonomi) tetapi hanya mengawasi. Jadi Badan Hukum daerah itu seperti staat (negara) tapip tidak seperti negara bagian dalam sistem Federal. Masih banyak sistem pemda yang illogis, termasuk keberadaan Dati I (Provinsi) dan Dati II (Kabupaten) yang masuk dalam Perfectur dimana seharusnya perfecture Cuma ada satu yaitu Gubernur. Kabupaten dan Kota seharusnya masuk ke Deconsentrasi. Begitu pula dengan Kecamatan yang harusnya decon juga masuk ke lokal bestuur.
Penanggap pada webinar sangat kritis diantaranya datang dari Bakti yang merupakan Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Joko Isdianto, Eko Sadoet, Udiyo Basuki, dan Firman Baso. Dalam sesi penutup Dr, Yakob Noho Nani menaruh harapan besar bahwa apa yang disampaikan oleh para pakar Ilmu Administrasi Negara ini akan membuat Sistem Pemda kita menjadi lebih baik dan sesuai dengan harapan bersama. Dilanjutkan pernyataan penutup dari Prof. Irfan bahwa harus ada suatu kesepakatanberrsama dahulu oleh para pengambil keputusan terkait sistem yang dianut untuk negara kita dan kita semua para komunitas pemikir Ilmu Administrasi
Negara agar dapat mendorong sistem pemerintahan yang tepat dan taat azas, dengan demikian akan selamat dunia akhirat. Ditutup oleh Prof. Hanif yang mengingatkan bahwa semua hal yang dilakukan itu harus mennggunakan ilmu, ada landasan teori dan dasar hukumnya. Setelah mengetahui ilmunya maka harus dipakai agar tidak sesat dan illogis
Laporan : Stevani Syawal