Pakar Administrasi Negara: Dicari, Negarawan Sejati !
Semarang – Jateng, Baraberita.com – Jum’at, 27/05/2022 – Dalam kontestasi politik di negara demokrasi, seseorang akan dapat duduk di puncak kekuasaan jika didukung oleh mayoritas suara. Untuk itu dia harus melakukan kampanye, menggalang kekuatan melalui partai politik, juga ormas. Namun, setelah berhasil mengalahkan pesaingnya itu, maka seharusnya dia meninggalkan kelompok pendukung itu, dan melayani masyarakat secara keseluruhan tanpa pandang bulu dan warna. Karena penguasa adalah pemimpin, pengurus semua orang, bukan hanya pelayan bagi golongan pendukungnya.
Demikian antara lain kesimpulan yang dapat diperoleh dari webinar Akademia Noto Negoro pada Jum’at malam, 27 Mei 2022. Dr. Budi Puspo Priyadi (UNDIP) yang menjadi pembicara pada diskusi yang dihadiri 50an orang itu mencontohkan Hery Zudianto, walikota Jogja dua periode (2001-2011). Dialah walikota pertama di Indonesia yang menyatakan bahwa walikota adalah “ketua pelayan masyarakat”. Mindset bahwa walikota (juga bupati, gubernur, presiden, termasuk kepala desa, kepala dusun, ketua RT dan RW) adalah penguasa, penggedhe, sejak saat itu ditinggalkan. Walikota bukan lagi orang yang harus dihormati, disubya-subya dan dilayani oleh rakyatnya, tapi sebaliknya dialah yang harus melayani rakyat.
Lebih dari itu, Hery tidak memiliki beban untuk “membalas budi” terhadap partai dan ormas yang dulu mengusungnya ke kursi kekuasaan. Hery pernah mengatakan, bahwa berproses maju menjadi walikota jaketnya adalah biru, namun ketika telah menjadi walikota bajunya adalah merah-putih. Hal ini sempat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan partai pengusung. Tapi dengan sikap inilah, Hery dapat total melayani masyarakat Jogja secara keseluruhan.
Yang lebih luar biasa dari sosok Hery adalah bahwa totalitas pelayannya kepada masyarakat itu dilakukan dengan cara meninggalkan profesinya sebagai pengusaha yang cukup sukses di Jogja. Dengan kondisi keuangan pribadinya yang sudah berkecukupan, Hery tidak mencari penghasilan dengan menjadi walikota itu. Sebaliknya, dia menjadikan kekuasaannya sebagai “wakaf politik”, artinya dia ingin berbuat sebanyak mungkin melakukan kebaikan untuk masyarakat, tidak mengharapkan insentif apapun di dunia, melainkan pahala yang terus-menerus di akhirat.
Ditanya oleh Dr. Samodra Wibawa (UGM) tentang nilai-nilai yang mendasari sikap dan perilaku seperti di atas, Budi Puspo selaku dosen administrasi negara yang punya background antropologi berpendapat, bahwa profesinya dan latarbelakang keluarganya sebagai pedagang atau pengusahalah yang menjadikan Hery seperti itu. Dia adalah orang yang besar di Kotagede, salah satu dari dua sentra wirausahawan di Jawa (yang lainnya adalah Kudus). Memang ada nuansa Islam pula dalam background-nya (karena itu dia diusung oleh PAN), tapi menurutnya jiwa pedagang lebih dominan daripada jiwa santrinya (Muhammdiyah). Buktinya Hery juga melakukan ritual jamasan (mencuci keris di bulan Sura) dan mengikuti ritual kejawen lain, sekalipun hal ini diakuinya lebih banyak untuk srawung, berbaur dengan pejabat lain dan juga tokoh-tokoh masyarakat. Ini untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam pemerintahan sehari-hari.
Orientasi pelayanan kepada masyarakat yang begitu kuat memang menimbulkan “kesengsaraan” di kalangan birokrat Jogja. Mereka harus mengikuti ritme kerja keras walikota. Pegawai instansi pemerintah yang selama ini terkesan santai berubah total menjadi pegawai yang bekerja keras, cerdas berdasar data dan logika ilmiah. Para pimpinan di bawah Hery harus selalu siap untuk berargumentasi, juga masih tetap bekerja di luar jam kerja. Selain itu, pegawai yang berprestasilah, bukan yang senior, yang dinaikkan jabatannya. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan sebagian pegawai (yang masih ber-mindset lama), malah ada yang memilih untuk pensiun dini atau pindah ke instansi lain di luar Kota Jogja.
Dimintai pendapat oleh Dr. M. Uhaib (Univ. Islam Kalimantan) tentang oligarkhie kekuasaan di berbagai tempat di Indonesia saat ini, Budi Puspo menerangkan bahwa dalam proses pencalonan walikota, ada saja pihak-pihak yang berusaha untuk membeli suara atau membiayai pencalonan itu. Tapi setelah terpilih jadi walikota, partai pun dia tinggalkan. Mengutip antropolog yang pernah bekerja di UGM, Jeffry Witers, Budi Puspo memang mengkhawatirkan cukongisme dalam pilkada dan pilpres kita, yang nantinya akan melahirkan oligarkhie. Ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan negara kita. Dia mengakui, bahwa dalam pilkada dan pilpres visi saja tidak cukup, tapi harus juga disokong oleh “gizi” (uang, untuk pelaksanaan kampanye maupun untuk partai atau pengurus partai pengusung). Ini mestinya dapat dihapus dengan menghilangkan ketentuan ambang batas (threshold) bagi pencalonan kepala daerah atau presiden.
Menanggapi persoalan oligarkhie, Dr. Djoko Siswanto (Univ. Hang Tuah) mengusulkan agar syarat untuk menjadi wakil rakyat diperketat, misalnya minimal harus S1. Bagaimana mungkin anggota DPR atau DPRD berdiskusi dengan para birokrat, yang pendidikannya minimal S1 (sudah banyak yang S2 bahkan S3), jika mereka hanya lulusan SMP atau SMA? Akibatnya DPR dan DPRD adalah organ yang berkuasa tapi personilnya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengurus masyarakat. Mereka bisanya hanya malak, memeras proyek-proyek pemerintah.
Sementara itu Akhmad Yani, MT (IAP Kaltim) menanyakan, mana yang lebih baik untuk menjadi pemimpin, pengusaha ataukah militer? Budi Puspo tidak memberikan jawaban yang tegas. Dia hanya menceritakan, bahwa selama ini walikota Joga dijabat oleh militer. Hery adalah orang sipil pertama yang menjadi walikota Jogja. Lebih dari itu dia adalah pengusaha. Jadi perubahannya terasa sangat drastis. Seandainya dia adalah birokrat, maka peralihan dari pejabat militer ke sipil mungkin tidak akan terasa revolusiner. Tapi tidak semua pengusaha bersikap reformatif dan berorientasi pelayanan. Setiap orang, menurut Budi, memiliki habitus (kebiasaan) masing-masing.
Acara yang dipandu oleh Dr. Amin Tohari (UIN SA) ini diramaikan oleh beberapa peserta-aktif lain, di antaranya Firdaus, MSi. (Univ. Kolaka) dan Suprapti, MSi. (STIAMI Jakarta). Adapun Akademia Noto Negoro adalah perkumpulan yang didirikan pada awal Maret lalu, yang memiliki visi untuk menjadikan negara dan dunia dikelola dengan semakin baik dari waktu ke waktu. Anggotanya saat ini 27 orang dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga profesi, dengan ketua Dr. Samora Wibawa (UGM). Keanggotaan bersifat terbuka untuk semua orang (lihat websitenya di https://akadnotonegoro.wordpress.com/). Samodra berharap bahwa dengan para pemimpin yang bersifat negarawan-sejati, yang tidak memiliki kepentingan parsial, maka persoalan-persoalan akan dapat teratasi dengan baik dan cepat, dan kebijakan-kebijakan akan selalu adil. Untuk itu DPR dan presiden perlu didorong untuk menciptakan regulasi dan mekanisme yang mengkondisikan para pejabat publik untuk bersikap seperti itu.
Laporan : Nur F. Bolotio