Ketua Nahdatul Ulama (NU) Gorontalo Ibrahim T. Sore Serukan Tolak People Power
Gorontalo, BARABERITA.COM Kamis, 16/05/2019 Berkembangnya Isu people power, direspon oleh para ulama, tokoh masyarakat bahkan tokoh agama
Ibrahim T.Sore Ketua NU (Nahdathul Ulama) Kota Gorontalo menilai ajakan ‘people power’ meresahkan masyarakat. Karena itu dia menolak seruan tersebut.
“Saya Ketua NU Kota Gorontalo mengajak masyarakat untuk bersyukur dan berterima kasih kepada penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu yang telah menyelenggarakan tahapan pemilu dengan jujur, adil dan sukses,” kata Ibrahim S. Tore
Ketua NU Gorontalo itu mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan Pemilu 2019, baik Pemilihan Legislatif (Pileg) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah betjalan dengan jujur, adil, transparan dan demokratis tanpa adanya kecurangan.
Ibrahim juga mengajak untuk mari bersama – sama menunggu pengumuman KPU pada 22 Mei 2019.
Tidak perlu ada pengerahan massa (people power) yang justru akan menimbulkan hal yang lebih parah lagi. Lebih kacau lagi kita akan menerima kerugian dari usaha tersebut,” imbuhnya.
Selain itu, Ibrahim meminta masyarakat untuk mengabaikan seruan bernada provokasi, termasuk people power, keutuhan NKRI adalah yang utama.
Kalau ada ajakan-ajakan yang memprovokasi, saya mengimbau kepada masyarakat untuk menjaga diri, menahan diri, menahan emosi serta menolak segala gerakan-gerakan yang inkonstitusional, yang berkenaan dengan melawan hukum atau berkenaan dengan menggerakkan massa atau people power,” tegas Ibrahim
People power hanya dapat memudarkan persatuan dan kesatuan dan memecah belah masyarakat. “Masyarakat Indonesia yang sudah dipersatukan dengan keanekaragaman budaya, agama, suku dan adat ini akan terpecah belah dengan adanya aksi power people,” kata ibrahim
Tak hanya itu people power adalah gerakan untuk kepentingan sesaat dan kepentingan kelompok atau perorangan yang tidak bertanggungjawab terhadap masyarakat dan umatnya,” tutur Ibrahim
DR. SAHMIN MADINA, S. Sos., MSI : ANJURAN PEOPLE POWER JANGAN DIIKUTI
Istilah People Power mulai dikenal sejak lahirnya demonstrasi massal pada 1986 yang dilakukan rakyat Filipina dengan tujuan mengakhiri rezim Presiden Ferdinand Marcos yang dianggap otoriter dan korup. Pada tahun 2011 istilah People Power mengemuka kembali, ditandai dengan kejadian Arab Spring yakni gerakan massa yang bertujuan mengakhiri rezim otoriter dan antidemokrasi dibeberapa negara Arab, meliputi Tunisia, Mesir, dan Libya. Di Indonesia sendiri gerakan people power puncaknya 1998 menjatuhkan rezim Orde Baru (Orba) dan ditandai masuknya Reformasi. Belakangan narasi people power mencuat dari pendukung Kubu Capres Prabowo-Sandi, setelah dilontarkan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amin Rais dalam Apel Siaga Umat 313, menolak kecurangan pemilu di depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta 31 Maret 2019. Dan semakin diagungkan untuk dilaksanakan pada tanggal 22 Mei nanti sebagai bentuk melawan dugaan kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Walaupun belakangan diganti istilahnya menjadi Kedaulatan Rakyat.
Melihat konteks kelahiran People Power padadasarnya dapat dilihat dalam dua faktor yakni pemerintahan otoriter dan common enemy.
Pertama, Pemerintahan Otoriter. Dalam konteks pemilu, pemerintahan otoriter melahirkan kesewenangan, kecurangan, dan tertutup. Itulah yang kita alami dijaman Orba, dan menilik lebih jauh kondisi yang terjadi di Filiphina, arab spring, sehingga terjadi people power. Namun kotenks Indonesia saat ini tidak demikian. Pemerintah dan dalam hal ini penyelenggara pemilu KPU senantiasa mewujudkan pemilu yang berintegritas, jujur dan transparan. Bahkan nyawa sekalipun dipertaruhkan, tak kurang 440 meninggal, dan 3.788 sakit. Semua tidak lepas dari bentuk bentuk mensukseskan pemilu yang sangat melelahkan. Bentuk lain mewujudkan pemilu yang transparan pun dapat diamati dari adanya situng kpu, yang dapat dilihat dan dikrocek melalui web KPU. Tak cukup sampai disitu, semua aparat negara ikut menjaga ketertiban, bahkan ada aparat kepolisian ampai tidur di TPS untuk mengamankan kotak suara.
Kedua Common Enemy atau musuh bersama. Syarat ini menjadi penting, karena menganggap pemerintah sebagai musuh bersama, sehingga rakyat berjibaku turun ke jalan menurunkan pemerintahan. Hal itu terjadi dalam berbagai tempat baik di Filipina, dan kejadian Arab Spring. Namun di Indonesia tidak demikian, dukungan dan kepercayaan terhadap pemerintah besar terutama dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini diungkapkan dalam berbagai hasil lembaga survey terhadap tingkat kepercayaan terhadap KPU yang begitu tinggi.
Melihat dua faktor kelahiran tersebut, kondisi people tidak relevan dalam melihat konteks Indonesia. Dan harapannya masyarakat tidak usah terprovokasi terhadap himbaun, anjuran people power atau istilah kedaulatan rakyat atau istilah lainnya yang intinya sama. Mari kita jaga pemilu ini dengan damai, percayakan pada penyelenggara pemilu dan pemerintah ada KPU, Bawaslu, dan lainnya. Jaga keselaran, perdamaian dan tatanan negara dengan baik. Buktikan bahwa kita adalah Negara yang besar dan dewasa dalam berdemokrasi.
Laporan : Arimin JW